BRANDED

PEMBAYARAN

Produk Populer

GUSDUR KEBINGUNGAN?

Tebuireng.org - Peringatan 1.000 hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang jatuh pada Kamis, 27 September 2012 diadakan di dua tempat besar, meski banyak di tempat kecil lain. Pertama, di Pondok Pesantren Tebuireng, tempat pemakaman beliau bersama kakeknya, KH Hasyim Asy'ari yang juga pendiri NU. Dan kedua, di Ciganjur Jakarta, rumah tinggal keluarga sehari-hari. Tempat pertama meiniliki kekuatan historis sedangkan yang kedua mempunyai potensi publis.
Ada dua celotehan yang sempat penulis dengar terkait peringatan ini. Pertama, apa Gus Dur tidak kebingungan, mau menghadiri yang mana? Kedua, apa jawaban Gus Dur ketika disoal oleh kakeknya tentang barongsay yang ikut kirim doa menyertai tahlilan dan yasinan di Tebuireng?
Ini mengingatkan penulis saat perziarah ke makam seorang wali di luar Jawa bersama kawan-kawan Dewan Hakim MTQ Nasional . Teman itu bertanya;"Cak, tadi di makam, sampeyan mencium sesuatu atau tidak?"
"Ya, harum. aneh, sebentar-sebentar ada, sebentar tak ada," kata saya
"Sama."
"Kenapa?"
"Itu berarti beliau khudlur."
Maksudnya, beliau sedang ada diruang itu, hadir menyambut. Logikanya, bisa saja, orang menziarahi sebuah makam, sementara wali yang bersangkutan sedang ke luar. Meski demikian, parsel dan proposal tetap diterima oleh kesekretariatan yang nantinya disampaikan sewaktu waktu sang boss datang. Semua itu berjaIan sistemis dan otomatis atas izin Allah.
Dalil tentang, bahwa para nabi, para syuhada, orang-orang saleh hidup di alam sama memang ada. (wa huwa hayy, bal ahya' dll).
Namun pemahaman makna "hidup" itulah yang berbeda. Pertama, hidup aktif. Yakni bisa beraksi dan bereaksi, seperti merespon salam, merekomendasi doa peziarah kepada Tuhan dll. Kedua, hidup pasif. Kayak orang hidup yang bisa menikmati fasilitas, sebagai ekstra servis atas kesalehannya. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Atau, Anda berpendapat lain?
Kearifan Ketiga
Gus Dur memang bukan manusia standar. Ada kelebihan di atas manusia kebanyakan. Daya rahmatnya yang konsis, sungguh memberi manfaat bagi orang hidup, meski dia sendiri sudah lama tiada. Maka wajar, mereka berduyun-duyun mendoakan. Sebagai muslim, siapa sih yang tidak ingin hidup bahagia dan matipun bahagia, bahkan lebih bahagia. Untuk mencapai itu, diperlukan kearifan kedua dalam berpandangan hidup. Contoh paling gampang dipapar berikut ini.
"Tentang doa, tahlilan, yasinan yang  dikirim teruntuk mayit, bisa nyampai atau tidak?" Soal dasar hukum dan dalil, baik naqli maupun aqli sama-sama ada, baik bagi yang mendukung nyampai atau yang menolak. Tak bisa kita truth claim dengan menyalahkan yang lain dan membenarkan diri sendiri. Maka, di sinilah dibutuhkan second knowledge atau kearifan kedua. Yaitu kearifan memilih pendapat yang menguntungkan dan sah, bukan pendapat  yang merugikan meski juga sah.
Bagi mereka yang memilih pahala Yasinan bermanfaat bagi mayit, penulis ucapkan selamat dan beruntung.  Anda pintar dan arif. Selain Anda memiliki aset pribadi, Anda juga mendapat hadiah, bonus dan parsel dari kawan-kawan. Moga bisa membantu kebutuhan Anda di alam sana. Tuhan bersikap sesuai keyakinan hamba-Nya (Ana 'ind dhann 'abdi bi).
Sementara bagi kawan-kawan yang berpendapat tidak bisa nyampai, sia-sia dan tak berguna, penulis hormat. Anda orang hebat yang merasa amalnya cukup dan tak butuh subsidi. Moga demikian.
Tapi tak salah bila dikoreksi: "Benarkah amal Anda cukup?"
Jika di sono nanti Anda mengalami defisit, maaf, Anda tidak bisa menerima subsidi. Sebab jalur sudah Anda putus sejak dulu dan Tuhan bertindak sesuai keyakinan Anda.
Dalam silabi teks Qurani, hadiah-hadiahan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang seiman. Beda agama antara pengirim dan yang dikirim tak bisa. Itulah yang dipegangi para ulama termasuk Kiai Hasyim Asy'ari.
Namun Gus Dur ingin lebih dari itu, ingin melampaui yang standar dan biasa. Sehingga memilih menggunakan kearifan ketiga. Dimana, non-seiman juga bisa bermanfaat. Tidak merasa cukup hanya dengan kearifan kedua yang dinilai kurang optimal.
Makanya, barongsay dibolehkan ikut kirim doa menyertai tahlilan dan yasinan di seputar makam Gus Dur, dengan harapan sama-sama bisa nyampai dan bermanfaat. Lumayan.
Dari sisi ini, nampak sesungguhnya Gus Dur itu pribadi sangat santun di hadapan Tuhan, merasa amat fakir dan benar-benar membutuhkan kucuran rahmat-Nya yang tak terhingga. Dan hasrat itu beliau tempuh dengan caranya sendiri, cara yang tidak lazim dilakukan para ulama pada umumnya.
Kira-kira inilah yang dijawabkan oleh Gus Dur atas gugatan kakeknya yang hanya menggunakan kearifan kedua. Dialog emajiner ini hanyalah sebuah ilustrasi rasional, di mana segala keputusan tetap mutlak di tangan Tuhan.
Gus Dur Berpesan
Berikut ini sekedar dialog imajiner penulis dengan Gus Dur terkait peringatan 1.000 hari wafat beliau.
Penulis: "Apa pesan Gus buat para pengada peringatan 1000 hari ini?"
Gus Dur: "Soal kirim doa sudah lancar. Itulah sisi ihtida' dari manfaat ziarah kubur. Para peziarah, peserta peringatan bisa mengambil pelajaran religi. Setidaknya ingat mati, lalu meningkatkan amal kebajikan. Cuma, sisi iqtida'-nya tak muncul."
Penulis: "Apa itu Gus?"
Gus Dur: Mereka hanya semangat kirim doa, tapi kurang semangat meneladani (iqtida') amal baik yang pernah saya lakukan. Utamanya di bidang pemikiran, kerja sosial, tebar kedamaian, bukan tebar pesona dan lain-lain. Dari gelagat peziarah, rasanya makam saya ini banyak dikunjungi pejabat. Mungkin dianggap wali pejabat. Ya, tak ubahnya wali-wali lain dengan spisifikasi sendiri-sendiri.
Yang lebih buruk dari itu ada. Mereka tidak mengambil hikmah religius dari peringatan ini, tidak pula mengambil keteladanan dari perbuatan saya, tapi malah mengambil keuntungan materi dari penyelenggaraan peringatan ini. Saya berharap Tuhan mengampuni kami dan kawan-kawan."
Penulis: "Itu pesan untuk umat, barang kali ada pesan untuk santri atau keluarga?"
Gus Dur: "Ya, untuk santri, harus lebih hebat dari saya. Jika sungguhan, pasti bisa. Mata saya ini sampek beleken, karena terlalu banyak membaca. Sedangkan untuk keluarga, agar semua bisa menjaga nama baik saya. Tampilan anak-anak di media dan di masyarakat tidak mengundang rasan-rasan negatif. Kebebasan ya kebebasan, tapi akhlak dan kepantasan tetap wajib dipatuhi. Anak-anak jangan sekadar merujuk saya saja, rujuk pula Mbah Buyut, Kiai Hasyim Asy'ari, kiainya para kiai negeri ini. Terima kasih."
Dan untuk guruku tercinta, penulis ucapkan: "Allahummighfirlah." (*)

KH. Mustain Syafi'i

Tulisan ini dimuat di Harian Radar Mojokerto, Kamis 27 September 2012

http://www.tebuireng.org/view/145/gus-dur-kebingungan.html

ANALISIS KASUS PERCERAIAN



Perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera. Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan dan harus putus di tengah jalan. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak, yang konsekuensinya dapat lepas yang kemudian dapat disebut talak.

Perspektif Fikih
            Menurut istilah talak adalah melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan. Dalam kitab Kifarat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz Jahiliyyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah.
            Ikatan perkawinan dapat putus dan tata caranya telah diatur baik dalam fikih maupun dalam UUP. Walaupun perkawinan merupakan sebuah ikatan suci namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat putus.
            Hadits Nabi yang popular berkenaan dengan talak adalah “Inna abghad al-mubahat ‘inda Allah al-talak” sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak. Dengan memahami hadits tersebut, sebenarnya Islam mendorong terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal dan menghindarkan terjadinya perceraian. Yang pada prinsipnya Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraian kecuali ada hal-hal yang darurat.
            Setidaknya ada 4 kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu:
1.Terjadinya nusyuz dari pihak istri, yaitu kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Berangkat dari sutar an-Nisaa’ ayat 34 memberikan opsi sebagai berikut:
Ø  Istri diberi nasihat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
Ø  Pisah ranjang, sebagai hukuman psikologis bagi istri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya.
Ø  Memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, tidak boleh memukul bagian yang membahayakan si istri.
2. Nusyuz suami terhadap istri terjadi ketika suami melalaikan kewajibannya terhadap istri, baik lahir maupun batin. Berkenaan dengan tugas suami berangkat dari hadits Rasulullah SAW yang intinya adalah suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti istrinya baik lahir maupun batin, fisik dan mental. Jika suami melalaikan kewajibannya dan istrinya berulang kali mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan, maka al-Qur’an seperti yang terdapat dalam surat an-Nisaa’ ayat 128 menganjurkan perdamaian di mana istri diminta untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu, yang bertujuan agar perceraian tidak terjadi.
3. Terjadinya syiqaq (percekcokan). Alasan ini merupakan alasan yang sering menyebabkan terjadinya perceraian. Dalam UU No.7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami istri. Mengenai masalah ini al-Qur’an dalam surat an-Nisaa’ ayat 35 dijelaskan bahwa aturan Islam dalam menangani problema kericuhan dalam rumah tangga, dipilihnya hakam (arbitrator) dari masing-masing pihak yang lebih mengetahui karakter, sifat keluarga mereka sendiri untuk mempermudah mendamaikan suami istri yang bertengkar.
4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya. Cara menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an.
Apabila berbagai cara yang telah ditempuh tidak membawa hasil, maka perceraian merupakan jalan yang terbaik bagi keduanya untuk kembali melanjutkan kehidupan masing-masing.
Jika diamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkatan tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki, seolah-olah talak menjadi hak prerogatif laki-laki sehingga bias saja seorang suami bertindak otoriter.
Perspektif UU No. 1 Tahun 1974
            Sebagaimana yang disebut dalam pasal UUP dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa yang dalam bahasa KHI disebut dengan mistaqan ghaliza (ikatan yang suci), namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Perspektif KHI
            KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah Putusnya Perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113 menyatakan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
            Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah “ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130, dan 131”.
            KHI juga memuat aturan-aturan yang berkenaan dengan pembagian talak, yaitu talak raj’I, talak ba’in sughra, dan ba’in. Permohonan cerai talak dengan alasan terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Berkenaan dengan alasan ini KHI dalam pasal 116 huruf f juga menjelaskan jika antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Selain itu permohonan cerai talak juga dapat dilakukan dengan alasan syiqaq, yang dalam UU No. 7 tahun 1989 dijelaskan gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan syiqaq untuk mendapatkan putusan perceraian harus mendengarkan keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau dari orang-orang yang dekat dengan suami istri.
Dalam pasal 115 KHI dijelaskan perceraian hanya dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Perspektif PP No. 9 Tahun 1975
            Hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian dalam PP No. 9 Tahun 1975 adalah:
a)      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b)      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain yang di luar kemampuan;
c)      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
d)     Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
e)      Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
f)       Suami melanggar taklik talak dan murtad.


ANALISIS
Setelah memaparkan perspektif Fikih, UUP, KHI, dan PP No. 9 tahun 1975 kasus perceraian yang menimpa pasangan Tora Sudiro dan istrinya Anggi saya lihat dari sudut pandang seorang praktisi hokum. Salah satu alasan Anggi menggugat cerai Tora Sudiro adalah karena seringnya terjadi perselisihan di antara Anggi dan Tora. Dalam Pasal 116 huruf f KHI dinyatakan bahwa jika “antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”, selain itu dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 19 huruf f juga dinyatakan pernyataan yang sama persis dengan yang dinyatakan dalam KHI, karena landasan itu salah satu pihak boleh mengajukan Permohonan Cerai Talak ke Pengadilan Agama. Karena cerai dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum di Indonesia ketika dinyatakan dalam Sidang Pengadilan Agama sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 115 KHI “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, hal ini juga dinyatakan dalam pasal 39 UUP.
Perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh oleh pengadilan setelah kedua belah pihak diberi waktu untuk mediasi tapi keduanya tetap bersikeras untuk cerai. Seperti halnya Tora dan Anggi mereka berdua menolak untuk melakukan mediasi dan sepakat untuk meneruskan perceraian. 

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM



Karena perjuangan Aceh yang sangat gigih, menyebabkan Aceh mendapat kedudukan tersendiri sehingga dengan peraturan Perdana  Menteri  pengganti  Peraturan Pemerintah No.8/Des/WKPMJ/49 tanggal 17 Desember  1949, Aceh dinyatakan  sebagai  satu provinsi yang berdiri sendiri yang lepas dari provinsi Sumatra Utara. Pada tahun 1959 wakil Perdana Menteri memberikan status Daerah Istimewa melalui keputusan Perdana Menteri No.1/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Tahun 1974 karena adanya kecendrungan pemusatan kekuasaan di pemerintah pusat, maka melalui Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, hingga panyelesaian keistimewaan Aceh tidak berjalan sebagaimana mestinya, akibatnya tidak sejalan dengan aspirasi daerah. Hingga semakin membesarkan jumlah kelompok yang ingin memisahkan diri dari Negara kasatuan RI yang disebut GAM. Untuk meredam gejolak Aceh dikeluarkanlah Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disertai dengan penambahan peran Ulama dalam menentukan kebijakan daerah.
            Secara normative yuridis, Aceh telah memiliki landasan untuk melaksanakan syari’at Islam, yaitu Undang-undang No.44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, dan Undang-undang No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan kedua Undang-undang ini Aceh diberlakukan hukun Islam secara menyeluruh baik dari aspek perdata maupun pidananya. yang dikenal dengan Syari’at Islam dan kedua Undang-undang ini memiliki kekuatan dekontruktif yang hebat terhadap siaten hukun dan paradilan di Indonesia.
            Sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana ditetapkan empat lingkungan Peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Lingkungan peradilan itu terdiri dari tingkat pertama dan tingkat banding. Sedang kasasi semuanya bermuara ka Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama di lingkingan Peradilan Agama disebut Pengadilan Agama, untuk tingkat banding disebut Pengadilan Tinggi Agama.
            Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Agung provinsi Aceh merupakan lembaga peradilan yang menurut UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini menyatakan bahwa kewenangan lembaga baru ini didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hokum nasional yang akan di atur dalan qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-undang ini juga menegaskan bahwa kewengan ini hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
            Dalam UU No. 18 Tahun 2001 pasal 25 disebutkan:
1)      Peradilan Syari’at Islam Provinsi NAD sebagai bagian dari system paradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pangaruh pihak mana pun;
2)      Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas syari’at Islan dalam system hokum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun provinsi NAD;
3)      Kewengan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pada pasal tersebut jelas ada tambahan pada “Keistimewaan” Aceh. Yakni, adanya Lembaga Peradilan Khusus untuk melaksanakan syari’at Islam yaitu Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga peradilan tingkat 1 dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai lembaga peradilan tingkat banding. Lembaga Mahkamah inilah yang berwenang melaksanakan syari’at Islam untuk umat Islam di Aceh baik tingkat 1 maupun tingkat banding. Sedang untuk kasasi tetap dilakukan oleh Mahkamah Agung. Demikian juga tentang sengketa kewenangan mengadili antara Mahkamah Syar’iyah dengan lembaga peradilan lainnya.
Mengenai kewenangan Mahkamah Syar’iyah, UU No. 18 Tahun 2001 menyerahkan pada qanun  provinsi NAD. Dan qanun sudah disahkan dengan qanun provinsi NAD No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’ah . dalam pasal-pasal 49 menyebutkan bahwa perkara-perkara di bidang perdata yang meliputi hokum kekeluargaan, hokum perikatan dan hokum harta benda serta perkara-perkara di bidang pidana yang meliputi: Qishas Diyat, Hudud, dan Ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar’itah. Hukum Materiil dan hukum Formil Mahkamah Syar’iyah harus menggunakan Syari’at Islam. Menurut Qanun No. 10 Tahun 2002 Pasal 53 dan 54, hokum Materiil dan Formil yang bersumber dari syari’at Islam akan dilaksanakan di Aceh serta dituangkan dalam bentuk qanun provinsi NAD. Syari’at Islam dilaksanakan oleh hakim Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu.
Secara operasional pelaksanaan syari’ah Islam di Aceh diatur dengan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000. Menurut pasal 2 ayat 1 Perda syari’at Islam yang dilaksanakan meliputi:
a.       Aqidah
b.      Ibadah
c.       Mu’amalah
d.      Akhlak
e.       Pendidikan dan da’wah islamiyah/ amar ma’ruf nahi munkar
f.       Baitulmal
g.      Kemasyarakatan
h.      Syi’ar Islam
i.        Pembelaan Islam
j.        Qadha
k.      Jinayat
l.        Munakahat
m.    Mawaris
Perubahan Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syari’ah banyak menimbulkan komplikasi teoritis khususnya tentang ketersediaan hukum pidana materiil Islam atau jinayat dan kompetensi Peradilan di Indonesia. Sebagaimana diamanatkan oleh Qanun  No. 10 Tahun 2002 Pasal 49 Mahkamah Syar’iyah diberi kewenangan baru untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara-perkara jinayat.
Perberlakuan jinayat  , merupakan sesuatu yang baru bagi sejarah Peradilan Agama di Indonesia. Ditinjau dari sisi perkembangan pemikiran hukum, jinayat adalah hokum yang paling ketinggalan dibandingkan dengan hokum perdata, khususnya keluarga. Ketertinggalan itu disebabkan karena di banyak negara Islam termasuk Indonesia, hokum Islam yang diadopsi menjadi hokum nasional kebanyakan hokum keluarga dan selama ini di Indonesia belum ada satu pun ketentuan-ketentuan hokum pidana Islam yang terkodifikasi.
Ada tiga pendapat mengenai badan yang akan melaksanakan jinayat itu:
Ø  Pelaksanaan Syari’at Islam dalam bidang hokum Islam diserahkan pada Pengadilan Negeri karena Pengadilan Negeri mempunyai wewenang di samping pengalaman dalam pelaksanaan hokum pidana.
Ø  Menghendaki agar pelaksaan pidana Islam diserahkan ke Pengadilan Agama karena hakim-hakim Pengadilan Agama lebih mengetahui hokum Islam dan memiliki kemampuan ijtihadiyah dan istinbath dan secara ideologis hakim Pengadilan Agamalah yang selama ini memiliki perhatian terhadap  hokum Islam. Satu kelemahan diri mereka adalah pengalaman menerapkan hokum pidana dalam hubungannya dengan unsur-unsur penegak hokum lain seperti polisi dan jaksa.
Ø  Menghendaki dibentuknya lembaga peradilan yang sama sekali baru di luar kedua lingkungan peradilan di atas.  Tampaknya pendapat yang ketiga ini akan mendapat kesulitan karena:
1.      bertentangan dengan UU No. 14 tahun 1970 juncto UU No. 14 tahun 1985.
2.      secara financial ide ini sangat mahal untuk dijalankan
3.      akan ada pemisahan antara pelaksanaan hokum perdata Islam dan pidana Islam.  

Cari Blog Ini

Customer Service

English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified

Recent Post

JASA PENGIRIMAN