BRANDED

PEMBAYARAN

Produk Populer

MAHKAMAH SYAR’IYAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM



Karena perjuangan Aceh yang sangat gigih, menyebabkan Aceh mendapat kedudukan tersendiri sehingga dengan peraturan Perdana  Menteri  pengganti  Peraturan Pemerintah No.8/Des/WKPMJ/49 tanggal 17 Desember  1949, Aceh dinyatakan  sebagai  satu provinsi yang berdiri sendiri yang lepas dari provinsi Sumatra Utara. Pada tahun 1959 wakil Perdana Menteri memberikan status Daerah Istimewa melalui keputusan Perdana Menteri No.1/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Tahun 1974 karena adanya kecendrungan pemusatan kekuasaan di pemerintah pusat, maka melalui Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, hingga panyelesaian keistimewaan Aceh tidak berjalan sebagaimana mestinya, akibatnya tidak sejalan dengan aspirasi daerah. Hingga semakin membesarkan jumlah kelompok yang ingin memisahkan diri dari Negara kasatuan RI yang disebut GAM. Untuk meredam gejolak Aceh dikeluarkanlah Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disertai dengan penambahan peran Ulama dalam menentukan kebijakan daerah.
            Secara normative yuridis, Aceh telah memiliki landasan untuk melaksanakan syari’at Islam, yaitu Undang-undang No.44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, dan Undang-undang No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan kedua Undang-undang ini Aceh diberlakukan hukun Islam secara menyeluruh baik dari aspek perdata maupun pidananya. yang dikenal dengan Syari’at Islam dan kedua Undang-undang ini memiliki kekuatan dekontruktif yang hebat terhadap siaten hukun dan paradilan di Indonesia.
            Sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana ditetapkan empat lingkungan Peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Lingkungan peradilan itu terdiri dari tingkat pertama dan tingkat banding. Sedang kasasi semuanya bermuara ka Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama di lingkingan Peradilan Agama disebut Pengadilan Agama, untuk tingkat banding disebut Pengadilan Tinggi Agama.
            Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Agung provinsi Aceh merupakan lembaga peradilan yang menurut UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini menyatakan bahwa kewenangan lembaga baru ini didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hokum nasional yang akan di atur dalan qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-undang ini juga menegaskan bahwa kewengan ini hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
            Dalam UU No. 18 Tahun 2001 pasal 25 disebutkan:
1)      Peradilan Syari’at Islam Provinsi NAD sebagai bagian dari system paradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pangaruh pihak mana pun;
2)      Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas syari’at Islan dalam system hokum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun provinsi NAD;
3)      Kewengan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pada pasal tersebut jelas ada tambahan pada “Keistimewaan” Aceh. Yakni, adanya Lembaga Peradilan Khusus untuk melaksanakan syari’at Islam yaitu Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga peradilan tingkat 1 dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai lembaga peradilan tingkat banding. Lembaga Mahkamah inilah yang berwenang melaksanakan syari’at Islam untuk umat Islam di Aceh baik tingkat 1 maupun tingkat banding. Sedang untuk kasasi tetap dilakukan oleh Mahkamah Agung. Demikian juga tentang sengketa kewenangan mengadili antara Mahkamah Syar’iyah dengan lembaga peradilan lainnya.
Mengenai kewenangan Mahkamah Syar’iyah, UU No. 18 Tahun 2001 menyerahkan pada qanun  provinsi NAD. Dan qanun sudah disahkan dengan qanun provinsi NAD No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’ah . dalam pasal-pasal 49 menyebutkan bahwa perkara-perkara di bidang perdata yang meliputi hokum kekeluargaan, hokum perikatan dan hokum harta benda serta perkara-perkara di bidang pidana yang meliputi: Qishas Diyat, Hudud, dan Ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar’itah. Hukum Materiil dan hukum Formil Mahkamah Syar’iyah harus menggunakan Syari’at Islam. Menurut Qanun No. 10 Tahun 2002 Pasal 53 dan 54, hokum Materiil dan Formil yang bersumber dari syari’at Islam akan dilaksanakan di Aceh serta dituangkan dalam bentuk qanun provinsi NAD. Syari’at Islam dilaksanakan oleh hakim Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu.
Secara operasional pelaksanaan syari’ah Islam di Aceh diatur dengan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000. Menurut pasal 2 ayat 1 Perda syari’at Islam yang dilaksanakan meliputi:
a.       Aqidah
b.      Ibadah
c.       Mu’amalah
d.      Akhlak
e.       Pendidikan dan da’wah islamiyah/ amar ma’ruf nahi munkar
f.       Baitulmal
g.      Kemasyarakatan
h.      Syi’ar Islam
i.        Pembelaan Islam
j.        Qadha
k.      Jinayat
l.        Munakahat
m.    Mawaris
Perubahan Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syari’ah banyak menimbulkan komplikasi teoritis khususnya tentang ketersediaan hukum pidana materiil Islam atau jinayat dan kompetensi Peradilan di Indonesia. Sebagaimana diamanatkan oleh Qanun  No. 10 Tahun 2002 Pasal 49 Mahkamah Syar’iyah diberi kewenangan baru untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara-perkara jinayat.
Perberlakuan jinayat  , merupakan sesuatu yang baru bagi sejarah Peradilan Agama di Indonesia. Ditinjau dari sisi perkembangan pemikiran hukum, jinayat adalah hokum yang paling ketinggalan dibandingkan dengan hokum perdata, khususnya keluarga. Ketertinggalan itu disebabkan karena di banyak negara Islam termasuk Indonesia, hokum Islam yang diadopsi menjadi hokum nasional kebanyakan hokum keluarga dan selama ini di Indonesia belum ada satu pun ketentuan-ketentuan hokum pidana Islam yang terkodifikasi.
Ada tiga pendapat mengenai badan yang akan melaksanakan jinayat itu:
Ø  Pelaksanaan Syari’at Islam dalam bidang hokum Islam diserahkan pada Pengadilan Negeri karena Pengadilan Negeri mempunyai wewenang di samping pengalaman dalam pelaksanaan hokum pidana.
Ø  Menghendaki agar pelaksaan pidana Islam diserahkan ke Pengadilan Agama karena hakim-hakim Pengadilan Agama lebih mengetahui hokum Islam dan memiliki kemampuan ijtihadiyah dan istinbath dan secara ideologis hakim Pengadilan Agamalah yang selama ini memiliki perhatian terhadap  hokum Islam. Satu kelemahan diri mereka adalah pengalaman menerapkan hokum pidana dalam hubungannya dengan unsur-unsur penegak hokum lain seperti polisi dan jaksa.
Ø  Menghendaki dibentuknya lembaga peradilan yang sama sekali baru di luar kedua lingkungan peradilan di atas.  Tampaknya pendapat yang ketiga ini akan mendapat kesulitan karena:
1.      bertentangan dengan UU No. 14 tahun 1970 juncto UU No. 14 tahun 1985.
2.      secara financial ide ini sangat mahal untuk dijalankan
3.      akan ada pemisahan antara pelaksanaan hokum perdata Islam dan pidana Islam.  

Cara Order Barang di Galeri Sepatu[dot]com

Order dapat anda lakukan melalui web atau melalui SMS ke 085.728.878.111 (IM3) / 089.671.878.111 (THREE) PIN BB: 276360ED ,Sertakan data orderan anda dengan format ( Nama,Nama barang,Warna barang, Size/Ukuran,Alamat ). Terima Kasih Atas Kepercayaan anda Berbelanja di TOKO KAMI.

:: Galeri Sepatu[dot]com ::

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Customer Service

English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified

Recent Post

JASA PENGIRIMAN