BRANDED

PEMBAYARAN

Produk Populer

ANALISIS KASUS PERCERAIAN



Perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera. Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan dan harus putus di tengah jalan. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak, yang konsekuensinya dapat lepas yang kemudian dapat disebut talak.

Perspektif Fikih
            Menurut istilah talak adalah melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan. Dalam kitab Kifarat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz Jahiliyyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah.
            Ikatan perkawinan dapat putus dan tata caranya telah diatur baik dalam fikih maupun dalam UUP. Walaupun perkawinan merupakan sebuah ikatan suci namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat putus.
            Hadits Nabi yang popular berkenaan dengan talak adalah “Inna abghad al-mubahat ‘inda Allah al-talak” sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak. Dengan memahami hadits tersebut, sebenarnya Islam mendorong terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal dan menghindarkan terjadinya perceraian. Yang pada prinsipnya Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraian kecuali ada hal-hal yang darurat.
            Setidaknya ada 4 kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu:
1.Terjadinya nusyuz dari pihak istri, yaitu kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Berangkat dari sutar an-Nisaa’ ayat 34 memberikan opsi sebagai berikut:
Ø  Istri diberi nasihat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
Ø  Pisah ranjang, sebagai hukuman psikologis bagi istri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya.
Ø  Memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, tidak boleh memukul bagian yang membahayakan si istri.
2. Nusyuz suami terhadap istri terjadi ketika suami melalaikan kewajibannya terhadap istri, baik lahir maupun batin. Berkenaan dengan tugas suami berangkat dari hadits Rasulullah SAW yang intinya adalah suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti istrinya baik lahir maupun batin, fisik dan mental. Jika suami melalaikan kewajibannya dan istrinya berulang kali mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan, maka al-Qur’an seperti yang terdapat dalam surat an-Nisaa’ ayat 128 menganjurkan perdamaian di mana istri diminta untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu, yang bertujuan agar perceraian tidak terjadi.
3. Terjadinya syiqaq (percekcokan). Alasan ini merupakan alasan yang sering menyebabkan terjadinya perceraian. Dalam UU No.7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami istri. Mengenai masalah ini al-Qur’an dalam surat an-Nisaa’ ayat 35 dijelaskan bahwa aturan Islam dalam menangani problema kericuhan dalam rumah tangga, dipilihnya hakam (arbitrator) dari masing-masing pihak yang lebih mengetahui karakter, sifat keluarga mereka sendiri untuk mempermudah mendamaikan suami istri yang bertengkar.
4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya. Cara menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an.
Apabila berbagai cara yang telah ditempuh tidak membawa hasil, maka perceraian merupakan jalan yang terbaik bagi keduanya untuk kembali melanjutkan kehidupan masing-masing.
Jika diamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkatan tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki, seolah-olah talak menjadi hak prerogatif laki-laki sehingga bias saja seorang suami bertindak otoriter.
Perspektif UU No. 1 Tahun 1974
            Sebagaimana yang disebut dalam pasal UUP dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa yang dalam bahasa KHI disebut dengan mistaqan ghaliza (ikatan yang suci), namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Perspektif KHI
            KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah Putusnya Perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113 menyatakan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
            Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah “ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130, dan 131”.
            KHI juga memuat aturan-aturan yang berkenaan dengan pembagian talak, yaitu talak raj’I, talak ba’in sughra, dan ba’in. Permohonan cerai talak dengan alasan terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Berkenaan dengan alasan ini KHI dalam pasal 116 huruf f juga menjelaskan jika antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Selain itu permohonan cerai talak juga dapat dilakukan dengan alasan syiqaq, yang dalam UU No. 7 tahun 1989 dijelaskan gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan syiqaq untuk mendapatkan putusan perceraian harus mendengarkan keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau dari orang-orang yang dekat dengan suami istri.
Dalam pasal 115 KHI dijelaskan perceraian hanya dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Perspektif PP No. 9 Tahun 1975
            Hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian dalam PP No. 9 Tahun 1975 adalah:
a)      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b)      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain yang di luar kemampuan;
c)      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
d)     Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
e)      Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
f)       Suami melanggar taklik talak dan murtad.


ANALISIS
Setelah memaparkan perspektif Fikih, UUP, KHI, dan PP No. 9 tahun 1975 kasus perceraian yang menimpa pasangan Tora Sudiro dan istrinya Anggi saya lihat dari sudut pandang seorang praktisi hokum. Salah satu alasan Anggi menggugat cerai Tora Sudiro adalah karena seringnya terjadi perselisihan di antara Anggi dan Tora. Dalam Pasal 116 huruf f KHI dinyatakan bahwa jika “antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”, selain itu dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 19 huruf f juga dinyatakan pernyataan yang sama persis dengan yang dinyatakan dalam KHI, karena landasan itu salah satu pihak boleh mengajukan Permohonan Cerai Talak ke Pengadilan Agama. Karena cerai dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum di Indonesia ketika dinyatakan dalam Sidang Pengadilan Agama sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 115 KHI “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, hal ini juga dinyatakan dalam pasal 39 UUP.
Perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh oleh pengadilan setelah kedua belah pihak diberi waktu untuk mediasi tapi keduanya tetap bersikeras untuk cerai. Seperti halnya Tora dan Anggi mereka berdua menolak untuk melakukan mediasi dan sepakat untuk meneruskan perceraian. 

Cara Order Barang di Galeri Sepatu[dot]com

Order dapat anda lakukan melalui web atau melalui SMS ke 085.728.878.111 (IM3) / 089.671.878.111 (THREE) PIN BB: 276360ED ,Sertakan data orderan anda dengan format ( Nama,Nama barang,Warna barang, Size/Ukuran,Alamat ). Terima Kasih Atas Kepercayaan anda Berbelanja di TOKO KAMI.

:: Galeri Sepatu[dot]com ::

1 komentar:

Unknown mengatakan...

HUKUM PERCERAIAN

Perceraian, khususnya bagi umat Islam, merupakan perbuatan halal yang tidak disukai Allah. Rasanya tak ada sepasang suami-istripun di dunia ini yang menginginkan perceraian, karena pada hakikatnya setiap orang ketika menikah berniat untuk hidup bahagia, dan bukan bercerai-berai. Namun, jikapun perceraian itu tak dapat lagi dihindari, maka tips-tips hukum berikut bisa menjadi pertimbangan.

https://www.facebook.com/notes/343230475878066/?pnref=story

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Customer Service

English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified

Recent Post

JASA PENGIRIMAN